Pojok Nasional

OPINI : Menimbang Pasangan Calon Bupati Cianjur Pasca Putusan MK oleh @saeplukman *)



Saep Lukman
Dinamika pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak terutama di Kab. Cianjur Jabar pasca putusan Mahkamah Konstitusi pada persidangan Rabu (8/7/2015) lalu memunculkan berbagai spekulasi baru. Terutama terkait siapa - siapa yang bakal maju dan konstalasi pasangan calon serta partai politik pengusung. Pro-kontra tentang putusan itu terus menjadi pembicaraan baik di tingkat nasional maupun di daerah terutama terkait beberapa materi putusan yang cenderung melawan arus opini yang selama ini terjadi.

Tak terkecuali di Cianjur, buah dari putusan itu setidaknya membangunkan keluarga petahana yang selama ini harus rela memberikan kepercayaan pencalonan kepada orang lain kini bisa mengerek bendera kembali. Alhasil keluarga petahana yang kemarin hanya melakukan masturbasi politik dengan berada dibalik pencalonan orang lain kini bisa berpesta dengan maju secara mandiri.

Bupati Cianjur dua periode , Tjetjep M Soleh (TMS) , selaku petahana sejak awal berada di balik pencalonan pasangan Herman Suherman – Ratu Tri Yulia . Sebagai Ketua DPC Partai Demokrat Kab. Cianjur dan pemenang pemilu sebelumnya di daerah berpenduduk hampir 3 juta orang itu,  TMS tentu wajar bila dalam rangka mempertahankan kekuasaanya ia memiliki putra mahkota. Dan putra mahkota yang sebenarnya adalah anaknya sendiri yakni Irvan Rivano Mochtar  (IRM) yang kini duduk sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Barat.

Semula IRM hanya bekerja di balik layar pengusungan Herman Suherman, Direktur PDAM Tirta Mukti Cianjur.  Herman didorong dengan berbagai upaya pencitraan terorganisir didukung birokrasi dan mesin politik yang dimiliki TMS untuk menjadi putra mahkota pengganti. Wakilnya bahkan tak tanggung yakni birokrat perempuan paling terpercaya di keluarga petahana yakni dr. Hj. Ratu Tri Yulia (RTY). RTY kini Direktur RSUD Cianjur dan sebelumnya sempat memimpin jabatan penting dan strategis di lingkaran kekuasaan petahana.

Kini setelah ada putusan MK , putra mahkota yang asli - maaf untuk tidak menyebut putra mahkota KW2 – IRM kembali masuk dalam percaturan perebutan kekuasaan di Kab. Cianjur. Hanya IRM terpaksa menjadi wakilnya Herman yang kadung sudah dicitrakan sebagai calon bupati. Padahal ide awalnya tentu IRM selayaknya menjadi calon orang nomor satu bukan calon nomor dua. Apa sih artinya wakil bupati dengan posisi politik IRM saat ini ?.

Tentu saja ada agenda tersembunyi di kemudian hari. Politik tak selembut yang ada di permukaan.  Esok jika Herman – IRM terpilih pasti ada ‘permainan dadu’ yang bisa saja lebih asyik ditonton. Kekuasaan selalu menampilkan drama dan dramatisnya sendiri. Meskipun akan nampak seperti dalam cerita babad, putra mahkota sesungguhnya dengan keris kekuasan politik yang dimilikinya tentu akan membuat sang ‘Drestarata’ tak akan berkutik, lemah dan tak berdaya. Jubah kekuasaannya sudah pasti akan dipreteli di tengah jalan. Entah dengan cara apa , namanya juga politik ! .

Tiga Putusan Penting

Kembali ke soal putusan MK, sedikitnya ada tiga putusan penting yang bisa mengubah konstalasi pilkada serentak di berbagai daerah. Antara lain : Pertama , MK pada persidangan yang lalu memutuskan bahwa anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mengikuti pemilihan kepala daerah (Pilkada) harus mengundurkan diri terhitung sejak pencalonannya disahkan KPUD. Putusan itu tertuang dalam hasil uji materi atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Ketentuan di UU itu yang dibatalkan adalah Pasal 7 hurus s yang mengatur bahwa anggota DPR, DPD, dan DPRD cukup memberitahukan pencalonannya sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada pimpinan, sehingga tidak perlu mengundurkan diri. Namun, MK menganggap ketentuan itu inkonstitusional.

Salah satu pihak yang menggugat UU Pilkada adalah Ali Nurdin, bakal calon Bupati Pandenglang, Banten. Menurut kuasa hukum Nurdin, Andi Syafrani, putusan tersebut merupakan keberhasilan MK untuk mengembalikan hak konstitusi warga negara yang dihilangkan melalui UU Nomor 8 tahun 2015.

Menurut Andi, terdapat dua norma yang ditegaskan MK dalam putusan itu. Pertama adalah norma yang diatur tentang konflik kepentingan keluarga petahana, yang bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, norma itu tidak bisa dilaksanakan dalam pilkada.

Kedua, harus ada asas keadilan bagi seluruh calon yang ingin mendaftar dalam pilkada dengan berbagai latar belakang. Baik PNS, Polri, TNI, Pejabat BUMN/BUMD ataupun anggota DPR/DPD/DPRD harus mundur dari posisinya saat resmi menjadi calon kepala daerah berdasarkan keputusan KPU. Menurut MK, Pasal 7 huruf s bertentangan dengan Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 dan mengandung unsur diskriminatif.

Dalam pertimbangannya, MK membantah argumen yang diajukan DPR sebagai pembuat undang-undang bahwa posisi sebagai wakil rakyat berbeda dengan TNI/Polri. Alasannya, karena anggota DPR/DPD dan DPRD dipilih melalui pemilihan. MK menganggap anggota DPR/DPRD/DPD seharusnya mengembalikan terlebih dahulu mandatnya ke rakyat sebelum mengikuti proses pemilu yang berbeda.

Kedua , seperti diketahui, MK mengabulkan gugatan uji materi Pasal 7 huruf R Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, tentang Pilkada. Uji tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas aturan bagi calon kepala daerah agar tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana dalam Pilkada.

Dalam pertimbangannya disebutkan bahwa UUD 1945 memberikan hak yang sama kepada seluruh warga negara untuk menggunakan hak konstitusionalnya yakni hak untuk dipilih, sehingga materi dalam pasal tersebut jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan terdapat muatan diskriminatif kepada warga negara.

Dalam putusannya, MK menilai materi yang ada dalam pasal 7 huruf r tersebut bertentangan dengan undang-undang dasar (UUD 1945) yakni pasal 28 J, di mana terdapat muatan diskriminatif.

Ketiga , Mahkamah Konstitusi menganulir larangan mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai peserta pemilihan kepala daerah (Pilkada), Kamis (9/7/2015). MK memutuskan bahwa Pasal 7 huruf g UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota (UU Pilkada) dinyatakan inkonstitusional sepanjang narapidana yang bersangkutan jujur di depan publik.

Menurut Ketua Majelis Anwar Usman saat membacakan amar putusannya, Pasal 7 huruf g UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

MK juga menghapus Penjelasan Pasal 7 huruf g yang memuat empat syarat bagi mantan narapidana agar bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Penjelasan Pasal 7 huruf g UU Pilkada berbunyi: "Persyaratan ini tidak berlaku bagi seseorang yang telah selesai menjalankan pidananya, terhitung lima tahun sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan jabatan publik yang dipilih (elected official) dan yang bersangkutan mengemukakan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. Orang yang dipidana penjara karena alasan politik dikecualikan dari ketentuan ini."

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan ketentuan tersebut bentuk pengurangan hak yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu dan tidak sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP hak memilih dan dipilih dapat dicabut dengan putusan pengadilan.
Pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim sebagai hukuman tambahan , demikian kata anggota majelis hakim Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangannya.

Patrialis mengatakan, UU tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan sesuai Pasal 28J UUD 1945.
Menurut MK , apabila UU membatasi hak mantan narapidana tidak dapat mencalonkan dirinya menjadi kepala daerah sama saja UU telah memberikan hukuman tambahan. Sedangkan UUD 1945 telah melarang memberlakukan diskriminasi kepada seluruh warganya. 

MK menyatakan pernyataan terbuka dan jujur dari mantan narapidana kepada masyarakat umum (notoir feiten) pada akhirnya masyarakatlah yang menentukan pilihannya mau memillih mantan narapidana atau tidak. Apabila mantan narapidana tersebut tidak mengemukakan kepada publik, maka berlaku syarat kedua putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 yaitu lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya.

Permohonan ini diajukan oleh dua mantan terpidana, Jumanto dan Fathor Rasyid. Mereka menilai Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pilkada sewenang-wenang dan seolah pembentuk UU menghukum seseorang tanpa batas waktu.

Namun, putusan MK tersebut tidak bulat karena dua anggota majelis menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Dua hakim itu adalah Maria Farida Indrati dan I Dewa Gede Palguna.
Maria mengatakan, putusan Mahkamah (Putusan MK No. 4/PUU-VII/2009) telah memberi jalan keluar, yaitu memberi kesempatan bagi mantan narapidana untuk menduduki jabatan publik yang dipilih (elected officials).

Maria mengatakan, penafsiran terhadap ketentuan syarat tidak pernah dipidana telah selesai. Sehingga, syarat tidak pernah dipidana tetap dimaknai sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009.

Namun, lanjutnya, pembentuk UU seharusnya meletakkan empat syarat yang terdapat dalam penjelasan Pasal 7 huruf g UU Pilkada ke dalam norma Pasal 7 huruf g tersebut.

Terkait dengan ketiga putusan spektakuler MK tersebut, sebagian publik  nampaknya melihat putusan MK tersebut cenderung memperkuat posisi petahana. Memberikan ruang besar supaya petahana kembali berkuasa dan terus berkuasa. Meskipun jika dipandang secara jernih saya melihatnya sebagai sesuatu yang biasa saja. Putusan itu memang harus ‘kudunya’ begitu.

Kalau patokannya UUD 1945 apa yang diputuskan MK adalah keharusan. Sebuah UU tidak boleh ada unsur-unsur diskriminasi kepada siapapun. Apakah itu kepada petahana dan bukan petahana, termasuk mereka yang telah menjadi narapidana. Soal ini saya ‘taklid’ pada pendapat mantan Ketua MK , Mahfud MD.

Seperti dilansir sejumlah media massa pasca putusan MK tersebut, Mahfud MD, menilai, putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah sudah tepat. Dalam putusannya, MK menilai syarat kepala daerah yang tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana seperti yang diatur dalam UU Nomor 8 tersebut melanggar konstitusi.

Menurut Mahfud, wacana mengenai pembatasan calon kepala daerah yang memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan dengan petahana sudah dibicarakan sejak ia masih menjabat Ketua MK. Namun,ketika itu hakim MK memiliki kesamaan pendapat bahwa hak konstitusional seorang warga negara tidak boleh dibatasi.

Lagi pula, orang yang memiliki hubungan dengan petahana belum tentu memanfaatkan fasilitas yang dimiliki petahana untuk memperoleh kemenangan dalam pilkada. Bisa jadi orang tersebut justru bertentangan dengan petahana lainnya. Kemungkinan lainnya, orang tersebut merupakan calon yang memiliki kapasitas lebih baik dari petahana.

Ia juga menilai bahwa fenomena politik dinasti yang berkembang di Indonesia bukan semata-mata menyangkut persoalan konstitusionalitas. Menurut Mahfud, fenomena ini merupakan masalah moralitas politik.

Soal Cianjur

Menyangkut Pilkada Cianjur, hasil putusan fenomenal MK di beberapa hari sebelum pendaftaran pasangan calon kepala daerah ke KPUD tentu saja membuat para calon pasangan yang akan berebut kuasa harus mengkalkulasi ulang. Terlebih petahana di Kabupaten Cianjur sangat intens untuk tetap eksis dalam percaturan politik selanjutnya. Dan kehadiran petahana yang dipandang memiliki mesin dan jaringan politik yang luar biasa kuat tentu akan membuat para calon diluar petahana melakukan pertimbangan yang matang.

Munculnya calon yang didukung petahana Suherman – IRM akan membuat partai-partai pengusung termasuk elit pendukung non petahana memformat ulang strateginya. Sehingga sangat wajar bila melihat perkembangan terkahir partai-partai akan cenderung terbelah pada dua blok kekuatan, yakni blok petahana dan non petahana. Non petahana ini menyebut diri sebagai blok perubahan.

Meskipun untuk soal Cianjur tentang petahana dan non petahana masih absurd. Soalnya non petahanapun akan mengusung dr. H. Suranto yang kini masih menjabat sebagai wakil bupati pendamping TMS. Hanya memang Suranto – TMS sudah lama dikesankan pisah ranjang. Suranto  - TMS sudah sekian lama tidak saling berpelukan seperti di saat-saat awal keduanya mulai berkuasa.

Sehingga dalam kenyataannya pilkada Cianjur hanyalah kelanjutan dari konflik Bupati – Wakil Bupati. Soal pertarungan antara TMS dan Suranto. Imbas dari persetruan ini menjalar ke partai-partai termasuk partai-partai di kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). Dimana posisi Partai SBY cukup menyebut diri hanya sebagai kekuatan penyeimbang dengan tidak secara terbuka masuk KMP apalagi KIH.

Politik ‘cerdas’ demokrat bisa saja terjadi di Cianjur dengan cara memainkan posisi dua kaki dan Politik Gentong Semar dengan menempatkan kadernya di kubu petahana maupun non petahana. Sementara kekuatan KMP, KIH bersatu didalamnya. Kita bisa secara kasat mata mengurai persaingan ini dengan sangat mudah. Kepiawaian partai demokrat ini akan makin mengukuhkan siapapun yang nanti menang adalah dari mereka atau bagian dari mereka sendiri. Sebuah pertunjukan opera politik yang cukup cerdik. Kita tunggu perkembangan selanjutnya, mudah-mudahan ada alternatif ***

*) @Saeplukman, Direktur Equivalent Media Tech ,  Koordinator Konsorsium Independent Pemantau Penyelenggara Pilkada Kab. Cianjur .